Header Ads

JIKA TAKMIR ADALAH PELAYAN RUMAH ALLAH, KALAU GALAK BAGAIMANA?


Sebagai takmir, saya sering belajar pelayanan masjid dari masjid-masjid lain yang saya kunjungi. Banyak pelajaran bisa saya dapatkan tentang pelayanan kepada jama'ah, yang baik maupun yang tidak baik.

Suatu kali saya shalat magribh di sebuah masjid daerah sekitaran kampus Unej Jember.

Masjidnya bagus, gedhe. Tapi kawan saya yang juragan Web Ads yang waktu itu lagi bareng saya ngingetin, "Imam-e gak enak loh mas".

Saya pikir gpp lah. Pertimbangan saya waktu itu sudah adzan. Masjidnya dekat pula. Selain itu juga setengah ga percaya, masa masjid sebesar itu imamnya ga enak. Mungkin maksudnya bukan ga fasih. Entah apanya.

Begitu selesai wudhu, langsung iqomah. Saya jalan menuju shaf depan yg masih kosong. Saya melihat takmirnya sudah berumur semua.

Belum sampai shaf depan, salah seorang takmirnya memutar setengah badan ke belakang sambil setengah teriak, "Mas! Kalau naruh tas jangan disitu! Nanti hilang!" katanya sambil menunjuk kepada salah seorang yang kelihatannya mahasiswa.

Ini beneran teriak loh. Isinya himbauan tapi caranya memarahi. Mimik mukanya pun serius.

Saya ikut senyum kecut. Pikir saya, "Woalah. Mbok yao diawe pelan kan bisa : Sini mas. Tasnya taruh depan".

Apalagi sesaat sebelum shalat kan waktunya menata hati. Konsentrasi memfokuskan pikiran. Baca An Nas atau Al Falaq. Bicara saja bisa buyarin fokus. Apalagi teriak-teriak gitu.

Saya ngisi satu slot yang masih kosong. Bapak yg tadi teriak, sekarang gantian marah sama saya.

"Mas! Jangan disini! Ini tempat yang qomat! Trus yang qomat mau shalat dimana?!"
Mau tak jawab "Meneketehe. Terserah yang qomat mau shalat dimana" tapi nanti ga jadi shalat.O.o

Saya baru kali itu shalat disana. Tempat adzan tersembunyi di ruangan sebelah imam. Saya tidak tahu kalau setelah iqomat, muadzin kembali ke barisan depan. Karena biasanya masjid yang tempat muadzinnya tersembunyi, muadzinnya shalat di shaf kedua atau di belakangnya atau malah di luar. Mutar lalu cari tempat kosong.

Kecuali kalau tempat adzan memang di shaf depan. Kelihatan ada muadzin disitu seperti di masjid saya. Pasti diberi tempat sama Jama'ah.

Lagi-lagi saya tersenyum kecut. Kalau tadi saya senyum sambil maju, sekarang senyum sambil mundur. Maju mundur maju mundur cantiiik, cantiiiikkk..

Begitu Takbiratul Ihram, imam baca Al Fatihah. Dieeengg. Duh Gusti, bacaannya kok gini amat. Ngapunten, sik bagusan bacaan saya. Padahal menurut saya, bacaan saya standar. Bener kata kawan saya tadi. Imamnya "gak enak". Tau gitu tak kasih micin.

Dari belasan syarat imam, yang pertama paham hukum shalat. Yang kedua, bacaannya lebih bagus atau paling tidak sama dengan makmumnya.

Bahkan mayoritas ulama berfatwa bahwa tidak sah hukumnya seseorang yang bacaannya bagus, bermakmum kepada imam yang bacaannya jelek.

Peristiwa itu melekat di benak saya. Jika masjid diibaratkan rumah ALLAH, maka takmir adalah pelayan-pelayannya. Sebaik baik pelayan adalah yang melayani sebaik-baiknya kepada tamu sang Tuan Rumah.

Bayangin kalau kita bertamu, trus pembantu si tuan rumah galak dan judes. Tentu citra si tuan rumah juga jadi jelek. Kapok bertamu kesana lagi.

Hmmm...

Di masjid saya, imam harus lolos seleksi. Seleksinya gimana? Salah satunya dengan Tadarrus yang diadakan rutin sebulan sekali. Disitu didengar bacaannya. Bagus atau tidak.

Khusus muadzin, di masjid saya masih ada toleransi. Nomor pertama hafal bacaan Adzan. Nomor dua "sregep". Fasih dan Merdu nomor tiga. Karena percuma fasih dan merdu kalau datangnya paling akhir.

- Khaisyar Yudha -

No comments

Powered by Blogger.